ASUHAN KEBIDANAN KEHAMILAN
TANDA-TANDA BAHAYA PADA IBU HAMIL
.
.
.
.
.
DISUSUN OLEH
NAMA : ANGELA CHRISTINE
NIM :
15150028
KELAS : A.12.1
PRODI D3 KEBIDANAN
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS RESPATI YOGYAKARTA
TA. 2015/1016
TANDA-TANDA BAHAYA PADA IBU HAMIL
1.
PREEKLAMSIA
a.
Pengertian
Preeklamsia adalah sebuah komplikasi
pada kehamilan yang ditandai dengan tekanan darah tinggi (hipertensi) dan
tanda-tanda kerusakan organ, misalnya kerusakan ginjal yang ditunjukkan oleh
tingginya kadar protein pada urine (proteinuria).
b.
Gejala
Kadang, preeklamsia bisa berkembang
tanpa gejala apa pun atau hanya muncul gejala-gejala ringan.
Gejala utama dari preeklampsia adalah tekanan darah
yang terus meningkat. Naiknya tekanan darah bisa terjadi dengan lambat, akibatnya
sulit untuk memastikan kondisi ini. Oleh karena itu, memonitor tekanan darah
secara rutin menjadi hal penting untuk dilakukan selama masa kehamilan. Jika
tekanan darah wanita hamil mencapai 140/90 mm Hg atau lebih, segeralah
berkonsultasi dengan dokter kandungan, terutama bila tekanan darah di level ini
ditemukan dalam 2 kali pemeriksaan rutin yang terpisah.
Selain hipertensi, gejala umum lainnya dari
preeklamsia adalah:
a.
Sesak napas, karena ada cairan di
paru-paru.
b. Sakit kepala
parah.
c. Berkurangnya
volume urine.
d.
Gangguan penglihatan. Pandangan
hilang sementara, menjadi kabur, dan sensitif terhadap cahaya.
e. Mual dan
muntah.
f. Rasa nyeri
pada perut bagian atas. Biasanya di bawah tulang rusuk sebelah kanan.
g. Meningkatnya
kandungan protein pada urine (proteinuria).
h. Gangguan
fungsi hati.
i. Pembengkakan
pada telapak kaki, pergelangan kaki, wajah dan tangan.
j. Berkurangnya
jumlah trombosit dalam darah.
Laju pertumbuhan janin yang melambat
juga bisa menandakan sang ibu mengidap preeklamsia. Kondisi ini disebabkan berkurangnya
pasokan darah ke plasenta sehingga janin mengalami kekurangan pasokan oksigen
dan nutrisi.
Agar preeklamsia bisa segera
terdiagnosis dan ditangani, lakukanlah konsultasi rutin dengan dokter kandungan
setiap bulan. Jangan ragu untuk melakukan konsultasi dengan dokter kandungan
lebih sering jika merasakan gejala-gejala yang tidak wajar selama masa
kehamilan.
c.
Penyebab
Sampai saat ini masih belum
diketahui penyebab utama dari preeklamsia.Namun beberapa ahli percaya jika
preeklamsia mulai berkembang di plasenta. Plasenta adalah organ yang
menghubungkan suplai darah ibu hamil dengan suplai darah janin yang
dikandungnya, dan nutrisi selama janin di dalam kandungan diberikan melalui
plasenta.
Pada wanita dengan preeklamsia,
pertumbuhan dan perkembangan pembuluh darah plasenta terganggu, sehingga lorong
pembuluh lebih sempit dari yang seharusnya serta melakukan reaksi berbeda
terhadap rangsangan hormon. Kondisi itu menyebabkan berkurangnya jumlah darah
yang bisa dialirkan.
Beberapa ahli lainnya menduga bahwa
kurangnya nutrisi, tingginya kandungan lemak tubuh, faktor keturunan, dan
kurangnya aliran darah ke uterus menjadi penyebab terjadinya preeklamsia.
Ada beberapa faktor yang bisa meningkatkan risiko
wanita mengalami preeklamsia, yaitu:
- Kehamilan pertama. Risiko terkena preeklamsia
paling tinggi adalah saat seseorang hamil pertama kalinya.
- Pernah mengalami preeklamsia pada kehamilan
sebelumnya.
- Sedang mengidap beberapa penyakit tertentu,
seperti sindrom antifosfolipid, diabetes, lupus, hipertensi, atau
penyakit ginjal.
- Janin lebih dari satu. Preeklamsia biasanya diidap
oleh wanita yang sedang mengandung dua atau lebih janin.
- Hamil setelah berganti pasangan.
Kehamilan pertama dengan pasangan yang baru meningkatkan risiko
preeklamsia lebih tinggi dibanding kehamilan kedua atau ketiga tanpa
berganti pasangan.
- Hamil setelah jeda 10 tahun dengan kehamilan
sebelumnya.
- Faktor usia. Wanita hamil di atas usia 40
tahun punya risiko preeklamsia lebih tinggi.
- Obesitas saat hamil. Wanita Asia dengan indeks
massa tubuh 25 atau lebih saat hamil bisa meningkatkan risiko preeklamsia.
- Faktor keturunan. Risiko mengidap preeklamsia
lebih besar jika ada anggota keluarga yang pernah terkena preeklamsia.
d.
Diagnosis
Jika wanita
hamil rutin memeriksakan kandungannya setiap bulan, maka gejala-gejala
preeklamsia akan cepat didiagnosis dan ditangani. Sebab setiap pemeriksaan
kehamilan dokter akan selalu mengecek tekanan darah ibu hamil. Apabila
gejala-gejala preeklamsia diketahui di sela-sela jadwal rutin pemeriksaan
kehamilan, maka segera temui dokter kandungan.
Jika dokter mencurigai adanya
preeklamsia dari hasil pemeriksaan tekanan darah, Anda akan diminta menjalani
beberapa tes seperti:
- Ultrasonografi fetus. Dalam tes ini dokter akan
memeriksa berat janin dan jumlah air ketuban. Kurangnya air ketuban adalah
salah satu tanda rendahnya suplai darah ke janin.
- Analisis darah. Tes ini akan melihat kinerja
organ hati dan ginjal serta jumlah trombosit dalam darah wanita hamil.
- Analisis urine. Dari cairan urine akan dilihat
berapa perbandingan kandungan protein dan kreatinin.
- Non stress test atau
NST.
Prosedur yang berfungsi untuk mengukur detak jantung bayi saat bergerak
selama masih di dalam kandungan.
e.
Pengobatan dan Pencegahan
Apabila
hasil diagnosis menyatakan bahwa Anda berisiko tinggi terkena preeklamsia,
biasanya dokter akan meminta Anda mengonsumsi parasetamol dosis rendah.
Parasetamol dosis rendah diduga dapat menurunkan risiko terkena preeklamsia.
Wanita yang kekurangan asupan kalsium sebelum dan saat kehamilan, juga akan
disarankan mengonsumsi suplemen kalsium untuk mencegah preeklampsia. Akan
tetapi wanita hamil sebaiknya jangan mengonsumsi obat, vitamin, atau suplemen
apa pun tanpa konsultasi dengan dokter kandungan terlebih dulu.
Pada
dasarnya, hanya proses kelahiranlah yang bisa menyembuhkan preeklamsia. Jika
preeklamsia muncul ketika usia janin belum cukup untuk dilahirkan, dokter
kandungan akan memonitor kondisi tubuh Anda dan sang calon bayi dengan seksama
hingga usia janin sudah cukup untuk dilahirkan. Dokter juga akan meminta Anda
menjalani analisis darah ultrasonografi dan NST lebih sering.
Ketika
preeklamsia semakin parah, wanita hamil akan disarankan untuk rawat inap di
rumah sakit sampai janin siap dilahirkan. Dokter akan menjalankan tes NST rutin
untuk memantau kesehatan janin.
Jika
preeklamsia muncul ketika usia janin sudah cukup untuk dilahirkan, biasanya dokter
akan menyarankan tindakan induksi atau bedah sesar untuk mengeluarkan bayi
sesegera mungkin. Langkah ini diambil agar preeklamsia tidak berkembang menjadi
lebih parah.Obat-obatan yang bisa dilakukan untuk wanita hamil yang mengalami
preeklamsia adalah:
·
Antihipertensi. Fungsi
pengobatan ini untuk menurunkan tekanan darah. Biasanya dokter akan memilih
obat antihipertensi yang aman bagi janin. Konsultasikan dengan dokter, dosis
aman bagi Anda dan janin.
·
Kortikosteroid. Paru-paru
janin bisa berkembang lebih matang dengan bantuan pengobatan ini. Kinerja liver
dan trombosit akan ditingkatkan dengan obat ini untuk memperpanjang usia
kehamilan.
·
Antikonvulsan. Dokter bisa
saja meresepkan obat antikonvulsan jika preeklamsia yang diderita cukup parah,
agar terhindar dari kejang-kejang.
f.
Komplikasi
Komplikasi
preeklamsia dapat dibagi dua, yaitu pada wanita hamil dan pada bayi. Pada
wanita hamil, preeklamsia bisa menimbulkan komplikasi sebagai berikut:
·
Sindrom HELLP (Haemolysis – Elevated
Liver enzymes – Low platelet count). Ini adalah sindrom rusaknya sel
darah merah, meningkatnya enzim liver, rendahnya jumlah trombosit darah.
Sindrom ini bisa mengancam keselamatan wanita hamil dan janinnya.
·
Eklamsia. Kondisi di
mana kejang-kejang atau kontraksi otot-otot yang dialami oleh wanita hamil.
Janin yang dikandung bisa tewas ketika ibu sedang kejang-kejang. Selain janin,
eklamsia juga mengancam keselamatan wanita hamil.
·
Penyakit kardiovaskular. Risiko
terkena penyakit yang berhubungan dengan fungsi jantung dan pembuluh darah akan
meningkat jika Anda pernah mengidap preeklamsia.
·
Kegagalan organ lain. Preeklamsia
bisa menyebabkan disfungsi beberapa organ seperti edema paru, gagal ginjal, dan gagal liver.
·
Rusaknya sistem penggumpalan
darah. Kondisi ini
bisa menyebabkan perdarahan secara berlebihan. Perdarahan ini terjadi karena
kurangnya kadar protein dalam darah.
·
Erupsi Plasenta. Kondisi
lepasnya plasenta dari dinding bagian dalam uterus sebelum kelahiran dapat mengakibatkan
perdarahan serius dan kerusakan plasenta. Kondisi ini akan membahayakan
keselamatan wanita hamil dan janin.
·
Stroke Hemoragik. Pecahnya
pembuluh darah di otak karena tingginya tekanan di dalam pembuluh darah. Darah
mengisi rongga kepala sehingga sel-sel otak akan mulai mati karena tidak
mendapatkan pasokan oksigen dan nutrisi yang cukup. Kondisi inilah yang
menyebabkan kerusakan otak atau bahkan kematian.
Komplikasi
pada janin yang disebabkan preeklamsia bisa menyebabkan pertumbuhan janin melambat.
Jika preeklamsia yang diidap ibu hamil cukup parah, maka janin harus dilahirkan
meski organ tubuhnya belum tumbuh hingga sempurna. Komplikasi serius seperti
kesulitan bernapas bisa diidap bayi yang lahir dengan kondisi ini. Terkadang
bayi bisa meninggal di dalam kandungan. Dalam kondisi seperti ini, bayi harus
menerima perawatan dan pengawasan secara intensif.
2.
EKLAMPSIA
a.
Pengertian
Eklampsia adalah kelainan pada masa kehamilan, dalam
persalinan, atau masa nifas yang ditandai dengan timbulnya kejang (bukan timbul
akibat kelainan saraf) dan / atau koma dimana sebelumnya sudah menunjukkan
gejala-gejala pre-eklampsia (hipertensi, edema, proteinuri). Istilah eklampsia berasal dari bahasa
Yunani dan berarti "halilintar". Kata tersebut dipakai karena seolah-olah
gejala-gejala eklampsia timbul dengan tiba-tiba tanpa didahului oleh
tanda-tanda lain.
Eklampsia pada
umumnya timbul pada wanita hamil atau dalam nifas dengan tanda-tanda
preeklampsia. Pada wanita yang menderita eklampsia timbul serangan kejang yang
diikuti oleh koma bila tidak segera mendapatkan penanganan medis pengobatan dan
perawatan eklamsia yang tepat.
b.
Penyebab
Etiologi
Sebab eklamsi
belum diketahui benar. Salah satu teori yang dikemukakan ialah bahwa eklamsi
disebabkan ischaemia rahim dan plasenta (ischaemia uteroplasenta). Selama
kehamilan uterus memerlukan darah lebih banya. Pada
molahidatidosa, hydramnion, kehamilan ganda, multipara, pada akhir kehamilan,
pada persalinan, juga pada penyakit pembuluh darah ibu, diabetes, peredaran
darah dalam dinding uterus kurang, maka keluarlah zat-zat dari plasenta atau
decidua yang menyebabkan vasospasmus dan hipertensi.
c.
Diagnosis
Eklampsia selalu
didahului oleh pre eklampsia. Perawatan prenatal untuk kehamilan dengan
predisposisi pre eklampsia perlu ketat dilakukan agar dapat dideteksi sedini
mungkin gejala – gejala eklampsia. Sering di jumpai perempuan hamil yang tampak
sehat mendadak menjadi kejang – kejang eklampsia karena tidak terdeteksi adanya
pre eklampsia sebelumnya.
Eklampsia harus dibedakan dari epilepsy ;
dalam anamnesis diketahui adanya serangan sebelum hamil atau pada hamil muda
dengan tanda pre eklampsia tidak ada, kejang akibat obat anastesi, koma karena
sebab lain.
d.
Gejala
dan Tanda
1. Nyeri
kepala hebat pada bagian depan atau belakang kepala yang diikuti dengan
peningkatan tekanan darah yang abnormal. Sakit kepala tersebut terus menerus
dan tidak berkurang dengan pemberian aspirin atau obat sakit kepala lain
2. Gangguan
penglihatan, pasien akan melihat kilatan-kilatan cahaya, pandangan kabur, dan
terkadang bisa terjadi kebutaan sementara
3. Iritabel,
ibu merasa gelisah dan tidak bisa bertoleransi dengan suara berisik atau
gangguan lainnya
4. Nyeri
perut, nyeri perut pada bagian ulu hati yang kadang disertai dengan muntah
5. Tanda-tanda
umum pre eklampsia (hipertensi, edema, dan proteinuria)
6. Kejang-kejang
dan / atau koma
e.
Komplikasi
Komplikasi yang
terberat adalah kematian ibu dan janin, usaha utama ialah melahirkan bayi hidup
dari ibu yang menderita pre eklampsia dan eklampsia. Komplikasi yang tersebut
di bawah ini biasanya terjadi pada pre eklampsia berat dan eklampsia :
1. Solusio
plasenta. Karena adanya takanan darah tinggi, maka pembuluh darah dapat mudah
pecah, sehingga terjadi hematom retropalsenta yang dapat menyebabkan sebagian
plasenta dapat terlepas.
2. Hipofibrinogenemia.
Adanya kekurangan fibrinogen yang beredar dalam darah , biasanya di bawah 100
mg persen. Sehingga pemeriksaan kadar fibrinogen harus secara berkala.
3. Hemolisis.
Kerusakan atau penghancuran sel darah merah karena gangguan integritas membran
sel darah merah yang menyebabkan pelepasan hemoglobin. Menunjukkan gejala
klinik hemolisis yang dikenal karena ikterus.
4. Perdarahan
otak. Komplikasi ini merupakan penyebab utama kematian maternal pada penderita
eklampsia.
5. Kelainan
mata. Kehilangan penglihatan untuk sementara, yang berlangsung sampai seminggu.
Perdarahan kadang-kadang terjadi pada retina yang merupakan tanda gawat akan
terjadinya apopleksia serebri.
6. Edema
paru – paru
7. Nekrosis
hati. Nekrosis periportal hati pada
eklampsia merupakan akibat vasopasmus arteriol umum. Kerusakan sel-sel hati
dapat diketahui dengan pemeriksaan faal hati, terutama penentuan
enzim-enzimnya.
8. Sindroma
HELLP. Merupakan suatu kerusakan multisistem dengan tanda-tanda : hemolisis,
peningkatan enzim hati, dan trombositopenia yang diakibatkan disfungsi endotel
sistemik. Sindroma HELLP dapat timbul pada pertengahan kehamilan trimester dua
sampai beberapa hari setelah melahirkan.
9. Kelainan
ginjal. Kelainan ini berupa endoteliosis glomerulus yaitu pembengkakan sitoplasma
sel endotelial tubulus ginjal tanpa kelainan struktur lainnya. Kelainan lain
yang dapat timbul ialah anuria sampai gagal ginjal.
10. Kopmlikasi
lain yaitu lidah tergigit, trauma dan fraktur karena jatuh akibat kejang - kejang pneumonia aspirasi, dan DIC.
11. Prematuritas,
dismaturitas, dan kematian janin intra uterin.
f.
Pencegahan
Usaha
pencegahan preklampsia dan eklampsia sudah lama dilakukan. Diantaranya dengan
diet rendah garam dan kaya vitamin C. Selain itu, toxoperal (vitamin E,) beta
caroten, minyak ikan (eicosapen tanoic acid), zink (seng), magnesium, diuretik,
anti hipertensi, aspirin dosis rendah, dan kalium diyakini mampu mencegah
terjadinya preklampsia dan eklampsia. Sayangnya upaya itu belum mewujudkan
hasil yang menggembirakan. Belakangan juga diteliti manfaat penggunaan
anti-oksidan seperti N. Acetyl Cystein yang diberikan bersama dengan vitamin A,
B6, B12, C, E, dan berbagai mineral lainnya. Nampaknya, upaya itu dapat
menurunkan angka kejadian pre-eklampsia pada kasus risiko tinggi.
g.
Pengobatan
Eklampsia
merupakan gawat darurat kebidanan yang memerlukan pengobatan di rumah sakit
untuk memberikan pertolongan yang adekuat.
Konsep
pengobatannya :
a. Menghindari
terjadinya :
·
Kejang berulang
·
Mengurangi koma
·
Meningkatkan jumlah dieresis
b. Perjalanan
kerumah sakit dapat diberikan :
·
Obat penenang dengan injeksikan 20 mgr
valium
·
Pasang infuse glukosa 5 % dan dapat di
tambah dengan valium 10 sampai 20 mgr
c. Sertai
petugas untuk memberikan pertolongan:
·
Hindari gigitan lidah dengan memasang
spatel pada lidah
·
Lakukan resusitasi untuk melapangkan
nafas dan berikan O2
·
Hindari terjadinya trauma tambahan
Perawatan
kolaborasi yang dilaksanakan dirumah sakit sebagai berikut :
1.
Kamar isolasi
·
Hindari rangsangan dari luar sinar dan
keributan
·
Kurangi penerimaan kunjungan untuk
pasien
·
Perawat pasien dengan jumlahnya terbatas
2.
Pengobatan medis
Banyak
pengobatan untuk menghindari kejang yang berkelanjutan dan meningkatkan
vitalitas janin dalam kandungan. Dengan pemberian :
·
Sistem stroganof
·
Sodium pentothal dapat menghilangkan
kejang
·
Magnesium sulfat dengan efek menurunkan
tekanan darah , mengurangi sensitivitas saraf pada sinapsis, meningkatkan
deuresis dan mematahkan sirkulasi iskemia plasenta sehingga menurunkan gejala
klinis eklampsia.
·
Diazepam atau valium
·
Litik koktil
3.
Pemilihan metode persalinan
Pilihan
pervaginam diutamakan :
·
Dapat didahului dengan induksi
persalinan
·
Bahaya persalinan ringan
·
Bila memenuhi syarat dapat dilakukan
dengan memecahkan ketuban, mempercepat pembukaan, dan tindakan curam untuk
mempercepat kala pengeluaran.
·
Persalinan plasenta dapat dipercepat
dengan manual
·
Menghindari perdarahan dengan diberikan
uterotonika
Pertimbangan
seksio sesarea :
·
Gagal
induksi persalinan pervaginam
·
Gagal pengobatan konservatif
3. KETUBAN PECAH DINI (KPD)
a.
Pengertian
Ketuban Pecah
Dini adalah pecahnya selaput ketuban sebelum terjadi proses persalinan yang
dapat terjadi pada usia kehamilan cukup waktu atau kurang waktu (Cunningham,
Mc. Donald, gant, 2002).
Ketuban Pecah
Dini adalah rupturnya membrane ketuban sebelum persalinan berlangsung (Manuaba,
2002). Ketuban pecah dini (KPD) didefinisikan
sebagai pecahnya ketuban sebelum waktunya melahirkan. Hal ini dapat terjadi
pada akhir kehamilan maupun jauh sebelum waktunya melahirkan. KPD preterm
adalah KPD sebelum usia kehamilan 37 minggu. KPD yang memanjang adalah KPD yang
terjadi lebih dari 12 jam sebelum waktunya melahirkan.
b.
Penyebab
Ketuban pecah dini disebabkan oleh
karena berkurangnya kekuatan membran atau meningkatnya tekanan intrauterin atau
oleh kedua faktor tersebut. Berkurangnya kekuatan membran disebabkan oleh
adanya infeksi yang dapat berasal dari vagina dan serviks. Selain itu ketuban
pecah dini merupakan masalah kontroversi obstetri. Penyebab lainnya adalah
sebagai berikut :
1. Inkompetensi
serviks (leher rahim)
Inkompetensia serviks adalah istilah
untuk menyebut kelainan pada otot-otot leher atau leher rahim (serviks) yang
terlalu lunak dan lemah, sehingga sedikit membuka ditengah-tengah kehamilan
karena tidak mampu menahan desakan janin yang semakin besar.
Adalah serviks dengan suatu kelainan
anatomi yang nyata, disebabkan laserasi sebelumnya melalui ostium uteri atau
merupakan suatu kelainan congenital pada serviks yang memungkinkan terjadinya
dilatasi berlebihantanpa perasaan nyeri dan mules dalam masa kehamilan
trimester kedua atau awal trimester ketiga yang diikuti dengan penonjolan dan
robekan selaput janin serta keluarnya hasil konsepsi (Manuaba, 2002).
2. Peninggian
tekanan inta uterin
Tekanan intra uterin yang meninggi atau
meningkat secara berlebihandapat menyebabkan terjadinya ketuban pecah dini.
Misalnya :
a. Trauma :
Hubungan seksual, pemeriksaan dalam, amniosintesis
b. Gemelli.
Kehamilan kembar adalah suatu kehamilan dua janin atau lebih. Pada kehamilan
gemelli terjadi distensi uterus yang berlebihan, sehingga menimbulkan adanya
ketegangan rahim secara berlebihan. Hal ini terjadi karena jumlahnya berlebih,
isi rahim yang lebih besar dan kantung (selaput ketuban ) relative kecil
sedangkan dibagian bawah tidak ada yang menahan sehingga mengakibatkan selaput ketuban
tipis dan mudah pecah. (Saifudin. 2002)
c. Makrosomia.
Makrosomia adalah berat badan neonatus >4000 gram kehamilan dengan
makrosomia menimbulkan distensi uterus yang meningkat atau over distensi dan
menyebabkan tekanan pada intra uterin bertambah sehingga menekan selaput
ketuban, manyebabkan selaput ketuban menjadi teregang,tipis, dan kekuatan
membrane menjadi berkurang, menimbulkan selaput ketuban mudah pecah.
(Winkjosastro, 2006)
d. Hidramnion.
Hidramnion atau polihidramnion adalah jumlah cairan amnion >2000mL. Uterus
dapat mengandung cairan dalam jumlah yang sangat banyak. Hidramnion kronis
adalah peningaktan jumlah cairan amnion terjadi secara berangsur-angsur.
Hidramnion akut, volume tersebut meningkat tiba-tiba dan uterus akan mengalami
distensi nyata dalam waktu beberapa hari saja
3. Kelainan
letak janin dan rahim : letak sungsang, letak lintang.
4. Kemungkinan
kesempitan panggul : bagian terendah belum masuk PAP (sepalo pelvic
disproporsi).
5. Korioamnionitis.
Korioamnionitis adalah infeksi selaput ketuban. Biasanya disebabkan oleh
penyebaranorganism vagina ke atas. Dua factor predisposisi terpenting adalah
pecahnyaselaput ketuban > 24 jam dan persalinan lama.
6. Penyakit
Infeksi. Penyakit Infeksi adalah penyakit yang disebabkan oleh sejumlah
mikroorganisme yangmeyebabkan infeksi selaput ketuban. Infeksi yang terjadi
menyebabkanterjadinya proses biomekanik pada selaput ketuban dalam bentuk
proteolitik sehingga memudahkan ketuban pecah.
7. Faktor
keturunan (ion Cu serum rendah, vitamin C rendah, kelainan genetik)
8. Riwayat
KPD sebelumya
9. Kelainan
atau kerusakan selaput ketuban
10. Serviks
(leher rahim) yang pendek (<25mm) pada usia kehamilan 23 minggu
c.
Tanda
dan Gejala
Tanda
yang terjadi adalah keluarnya cairan ketuban merembes melalui vagina. Aroma air
ketuban berbau amis dan tidak seperti bau amoniak, mungkin cairan tersebut
masih merembes atau menetes, dengan ciri pucat dan bergaris warna darah. Cairan
ini tidak akan berhenti atau kering karena terus diproduksi sampai kelahiran.
Tetapi bila Anda duduk atau berdiri, kepala janin yang sudah terletak di bawah
biasanya “mengganjal” atau “menyumbat” kebocoran untuk sementara.
Demam,
bercak vagina yang banyak, nyeri perut, denyut jantung janin bertambah cepat
merupakan tanda-tanda infeksi yang terjadi.
d.
Diagnosis
· Pastikan
selaput ketuban pecah.
· Tanyakan
waktu terjadi pecah ketuban.
· Cairan
ketuban yang khas jika keluar cairan ketuban sedikit-sedikit, tampung cairan
yang keluar dan nilai 1 jam kemudian.
· Jika
tidak ada dapat dicoba dengan menggerakan sedikit bagian terbawah janin atau
meminta pasien batuk atau mengedan.
· Penentuan
cairan ketuban dapat dilakukan dengan tes lakmus (nitrazintes), jika lakmus
merah berubah menjadi biru menunjukan adanya cairan ketuban (alkalis). pH
normal dari vagina adalah 4-4,7 sedangkan pH cairan ketuban adalah 7,1-7,3. Tes
tersebut dapat memiliki hasil positif yang salah apabila terdapat keterlibatan
trikomonas, darah, semen, lendir leher rahim, dan air seni.
· Tes
Pakis, dengan meneteskan cairan ketuban pada gelas objek dan dibiarkan kering.
Pemeriksaan mikroskopik menunjukan kristal cairan amniom dan gambaran daun
pakis.
· Tentukan
usia kehamilan, bila perlu dengan pemeriksaan USG.
· Tentukan
ada tidaknya infeksi.
· Tanda-tanda
infeksi adalah bila suhu ibu lebih dari 38OC serta cairan ketuban keruh dan
berbau.
· Leukosit
darah lebih dari 15.000/mm3.
· Janin
yang mengalami takikardi, mungkin mengalami infeksi intrauterin.
· Tentukan
tanda-tanda persalinan.
· Tentukan
adanya kontraksi yang teratur
· Periksa
dalam dilakukan bila akan dilakukan penanganan aktif ( terminasi kehamilan )
Pemeriksaan Diagnostik
a. Ultrasonografi.
Ultrasonografi dapat mengindentifikasikan kehamilan ganda, anormaly janin atau
melokalisasi kantong cairan amnion pada amniosintesis.
b. Amniosintesis.
Cairan amnion dapat dikirim ke laboratorium untuk evaluasi kematangan paru
janin.
c. Pemantauan
janin. Membantu dalam mengevaluasi janin
d. Protein
C-reaktif. Peningkatan protein C-reaktif serum menunjukkan peringatan
korioamnionitis
e.
Komplikasi
Komplikasi
yang timbul akibat Ketuban Pecah Dini bergantung pada usia kehamilan. Dapat
terjadi Infeksi Maternal ataupun neonatal, persalinan prematur, hipoksia karena
kompresi tali pusat, deformitas janin, meningkatnya insiden SC, atau gagalnya
persalinan normal.
1. Persalinan
Prematur. Setelah ketuban pecah biasanya segera disusul oleh persalinan.
Periode laten tergantung umur kehamilan. Pada kehamilan aterm 90% terjadi dalam
24 jam setelah ketuban pecah. Pada kehamilan antara 28-34 minggu 50% persalinan
dalam 24 jam. Pada kehamilan kurang dari 26 minggu persalinan terjadi dalam 1
minggu.
2. Infeksi.
Risiko infeksi ibu dan anak meningkat pada Ketuban Pecah Dini. Pada ibu terjadi
Korioamnionitis. Pada bayi dapat terjadi septikemia, pneumonia, omfalitis.
Umumnya terjadi korioamnionitis sebelum janin terinfeksi. Pada ketuban Pecah
Dini premature, infeksi lebih sering dari pada aterm. Secara umum insiden
infeksi sekunder pada KPD meningkat sebanding dengan lamanya periode laten.
3. Hipoksia
dan asfiksia. Dengan pecahnya ketuban terjadi oligohidramnion yang menekan tali
pusat hingga terjadi asfiksia atau hipoksia. Terdapat hubungan antara
terjadinya gawat janin dan derajat oligohidramnion, semakin sedikit air
ketuban, janin semakin gawat.
4. Syndrom
deformitas janin. Ketuban Pecah Dini yang terjadi terlalu dini menyebabkan
pertumbuhan janin terhambat, kelainan disebabkan kompresi muka dan anggota
badan janin, serta hipoplasi pulmonal
f.
Penanganan
1. Konservatif
· Rawat di
rumah sakit
· Jika ada
perdarahan pervaginam dengan nyeri perut, pikirkan solusioplasenta
· Jika ada
tanda-tanda infeksi (demam dan cairan vagina berbau), berikanantibiotika sama
halnya jika terjadi amnionitosis
· Jika
tidak ada infeksi dan kehamilan < 37 minggu:
- Berikan
antibiotika untuk mengurangi morbiditas ibu dan janin
- Ampisilin
4x 500mg selama 7 hari ditambah eritromisin 250mg per oral 3x perhari selama 7
hari.
·
Jika usia kehamilan 32 - 37 mg, belum
inpartu, tidak ada infeksi, beridexametason, dosisnya IM 5 mg setiap 6 jam
sebanyak 4 x, observasi tanda-tanda infeksi dan kesejahteraan janin.
·
Jika usia kehamilan sudah 32 - 37 mg dan
sudah inpartu, tidak ada infeksi maka berikan tokolitik ,dexametason, dan
induksi setelah 24 jam.
2. Aktif
· Kehamilan
lebih dari 37 mg, induksi dengan oksitosin
· Bila
gagal Seksio Caesaria dapat pula diberikan misoprostol 25 mikrogram – 50
mikrogram intravaginal tiap 6 jam max 4 x.
· Bila ada
tanda-tanda infeksi berikan antibiotika dosis tinggi dan persalinan diakhiri.
· Indikasi
melakukan induksi pada ketuban pecah dini adalah sebagai berikut :
1) Pertiimbangan
waktu dan berat janin dalam rahim. Pertimbangan waktuapakah 6, 12, atau 24 jam.
Berat janin sebaiknya lebih dari 2000 gram.
2) Terdapat
tanda infeksi intra uteri. Suhu meningkat lebih dari 38°c, dengan pengukuran
per rektal. Terdapat tanda infeksi melalui hasil pemeriksaanlaboratorium dan
pemeriksaan kultur air ketuban.
g.
Penatalaksanaan
Lanjutan
1.
Kaji suhu dan denyut
nadi setiap 2 jam. Kenaikan suhu sering kali didahului kondisi ibu yang
menggigil.
2.
Lakukan pemantauan DJJ.
Pemeriksaan DJJ setiap jam sebelum persalinan adalah tindakan yang adekuat
sepanjang DJJ dalam batas normal. Pemantauan DJJ ketat dengan alat pemantau
janin elektronik secara kontinu dilakukan selama induksi oksitosin untuk melihat
tanda gawat janin akibat kompresi tali pusat atau induksi. Takikardia dapat
mengindikasikan infeksiuteri.
3.
Hindari pemeriksaan
dalam yang tidak perlu.
4.
Ketika melakukan
pemeriksaan dalam yang benar-benar diperlukan, perhatikan juga hal-hal berikut:
a. Apakah
dinding vagina teraba lebih hangat dari biasa
b. Bau
rabas atau cairan di sarung tangan anda
c. Warna
rabas atau cairan di sarung tangan
5.
Beri perhatian lebih
seksama terhadap hidrasi agar dapat diperoleh gambaranjelas dari setiap infeksi
yang timbul. Seringkali terjadi peningkatan suhu tubuhakibat dehidrasi.
4.
INTRA
UTERINE FETAL DEADTH (IUFD)
a.
Pengertian
Intra Uterine
Fetal Deadth (IUFD) atau kematian janin dalam rahim adalah kematian janin dalam
kehamilan sebelum terjadi proses persalinan pada usia kehamilan 28 minggu ke
atas atau berat janin 1000 gram. (Moechtar R. Pedarahan Antepartum. Dalam:
Synopsis Obstetri, Obstetri Fisiologis dan Obstetri Patologis, Edisi II.
Jakarta:Penerbit Buku Kedokteran EGC, 1998; 279)
IUFD adalah
kematian intrauterin sebelum seluruh produksi konsepsi manusia dikeluarkan, ini
tidak diakibatkan oleh aborsi terapeutik atau kematian janin juga disebut
kematian intrauterin dan mengakibatkan kelahiran mati. (Wiknjosastro, Hanifa.
2007. Pelayanan Kesehatan Maternal Dan Neonatal. Jakarta : YBP-SP)
IUFD adalah
keadaan tidak adanya tanda-tanda kehidupan janin dalam kandungan baik pada
kehamilan yang besar dari 20 minggu atau kurang dari 20 minggu. (Rustam
Muchtar, 1998)
IUFD adalah
kematian hasil konsepsi sebelum dikeluarkan dengan sempurna dari rahim ibunya
tanpa memandang tuanya kehamilan. (Sarwono, 2005)
b.
Penyebab
· Perdarahan
antepartum seperti plasenta previa dan solusio plasenta
· Pre
eklamsi dan eklamsi
· Penyakit
kelainan darah
· Penyakit
infeksi menular
· Penyakit
saluran kencing
· Penyakit
endokrin sperti DM dan hipertiroid
· Malnutrisi
c.
Faktor
Predisposisi
a. Factor
ibu (High Risk Mothers)
-
Status social ekonomi yang rendah
-
Tingkat pendidikan ibu yang rendah
-
Umur ibu yang melebihi 30 tahun atau
kurang dari 20 tahun
-
Paritas pertama atau paritas kelima atau
lebih
-
Tinggi dan BB ibu tidak proporsional
-
Kehamilan di luar perkawinan
-
Kehamilan tanpa pengawasan antenatal
-
Ganggguan gizi dan anemia dalam
kehamilan
-
Ibu dengan riwayat kehamilan /
persalinan sebelumnya tidak baik seperti bayi
-
Riwayat inkompatibilitas darah janin dan
ibu
b. Factor
Bayi (High Risk Infants)
-
Bayi dengan infeksi antepartum dan
kelainan congenital
-
Bayi dengan diagnosa IUGR (Intra Uterine
Growth Retardation)
-
Bayi dalam keluarga yang mempunyai
problema social
c. Factor
yang berhubungan dengan kehamilan
-
Abrupsio plasenta
-
Plasenta previa
-
Preeklamsi / eklamsi
-
Polihidramnion
-
Inkompatibilitas golongan darah
-
Kehamilan lama
-
Kehamilan ganda
-
Infeksi
-
Diabetes
-
Genitourinaria
d. Diagnosis
1.
Anamnesa/keluhan
a. Ibu
tidak merasakan gerakan janin
b. Perut
tidak bertambah besar
2.
Inspeksi
Tidak
tampak gerakan janin
3.
Palpasi
-
TFU lebih rendah dari tuanya kehamilan
-
Tidak teraba gerakan janin
-
Krepitasi pada tulang kepala janin
-
4.
Auskultasi
DJJ (-)
5.
Reaksi kehamilan
Test
kehamilan (-)
6.
Rontgen foto abdomen
Adanya akumulasi
gas dalam jantung dan pembuluh darah janin
Tanda
nojosk :
angulasi yang tajam pada tulang belakang janin
Tanda
gernard : hiperekstensi kepala janin
Tanda
spalding : overlapping sutura
7.
USG
-
Gerak anak tidak ada
-
Denyut jantung anak tidak ada
-
Tampak bekuan darah pada ruang jantung
janin
8.
Laboratorium
-
Reaksi biologis negative setelah 10 hari
janin mati
-
Hipofibrinogenemia setelah 4-5 minggu
janin mati
-
Kalau janin mati pada kehamilan yang
telah lanjut terjadilah perubahan-perubahan sebagai berikut :
1. Rigor
mortis. Berlangsung 21/2 jam setelah
mati kemudian lemas lagi.
2. Maserasi
Tingkat I. Timbul lepuh-lepuh pada kulit. Lepuh ini mula-mula berisi cairan
jernih. Tapi kemudian menjadi merah. Berlangsung sampai 48 jam setelah mati.
3. Maserasi
Tingkat II. Lepuh pecah dan mewarnai air ketuban menjadi merah coklat, jam setelah anak mati.
4. Maserasi
Tingkat III. Terjadi kira-kira 3 minggu setelah anak mati. Badan janin sangat
lemas, hubungan antar tulang-tulang sangat longgar. Edema di bawah kulit.
e. Tanda dan Gejala
· Terhentinya
pertumbuhan uterus, atau penurunan TFU
· Terhentinya
pergerakan janin
· Terhentinya
denyut jantung janin
· Penurunan
atau terhentinya peningkatan berat badan ibu.
· Perut
tidak membesar tapi mengecil dan terasa dingin
· Terhentinya
perubahan payudara
f. Komplikasi
· Trauma
emosional yg cukup berat terjadi bila wktu antara kematia janin &
persalinan cukup lama
· Dapat
terjadi infeksi bila ketuban pecah
· Dapat
terjadi koagulasi bila kematian janin berlangsung lebih dari 2minggu.
· Kematian
janin dalam kandungan 3-4 minggu, biasanya tidak memvbahayakan ibu. Setelah
lewat 4 minggu maka kemungkinan terjadinya kelainan darah (hipofibrinogenemia)
akan lebih besar. Kematian janin akan menyebabkan desidua plasenta menjadi
rusak menghasilkan tromboplastin masuk kedalam peredaran darah ibu, pembekuan
intravaskuler yang dimulai dari endotel pembuluh darah oleh trombosit
terjadilah pembekuan darah yang meluas menjadi Disseminated intravascular
coagulation hipofibrinogenemia (kadar fibrinogen < 100 mg%).
· Kadar
normal fibrinogen pada wanita hamil adalah 300-700 mg%. Akibat kekurangan
fibrinogen maka dapat terjadi hemoragik postpartum. Partus biasanya berlangsung
2-3 minggu setelah janin mati.
g. Penanganan
1.
Terapi
a. Selama
menunggu diagnosa pasti, ibu akan mengalami syok dan ketakutan memikirkan bahwa
bayinya telah meninggal. Pada tahap ini bidan berperan sebagai motivator untuk
meningkatkan kesiapan mental ibu dalam menerima segala kemungkinan yang ada.
b. Diagnosa
pasti dapat ditegakkan dengan berkolaborasi dengan dokter spesialis kebidanan
melalui hasil USG dan rongen foto abdomen, maka bidan seharusnya melakukan
rujukan.
c. Menunggu
persalinan spontan biasanya aman, tetapi penelitian oleh Radestad et al (1996)
memperlihatkan bahwa dianjurkan untuk menginduksi sesegera mungkin setelah
diagnosis kematian in utero. Mereka menemukan hubungan kuat antara menunggu
lebih dari 24 jam sebelum permulaan persalinan dengan gejala kecemasan. Maka
sering dilakukan terminasi kehamilan.
1) Pengakhiran
kehamilan jika ukuran uterus tidak lebih
dari 12 minggu kehamilan.
Persiapan:
-
Keadaan memungkinkan yaitu Hb > 10
gr%, tekanan darah baik.
-
Dilakukan pemeriksaan laboratorium,
yaitu:pemeriksaan trombosit, fibrinogen, waktu pembekuan, waktu perdarahan, dan
waktu protombin.
Tindakan:
-
Kuretasi vakum
-
Kuretase tajam
-
Dilatasi dan kuretasi tajam
2) Pengakhiran
kehamilan jika ukuran uterus lebih dari
12 minggu sampai 20 minggu
-
Misoprostol 200mg intravaginal, yang
dapat diulangi 1 kali 6 jam sesudah pemberian pertama.
-
Pemasangan batang laminaria 12 jam
sebelumnya.
-
Kombinasi pematangan batang laminaria
dengan misoprostol atau pemberian tetes oksitosin 10 IU dalam 500 cc dekstrose
5% mulai 20 tetes per menit sampai maksimal 60 tetes per menit.
Catatan:
dilakukan kuretase bila masih terdapat jaringan.
3) Pengakhiran
kehamilan jika lebih dari 20 – 28 minggu
-
Misoprostol 100 mg intravaginal, yang
dapat diulangi 1 kali 6 jam sesudah pemberian pertama.
-
Pemasangan batang laminaria selama 12
jam.
-
Pemberian tetes oksitosin 5 IU dalam
dekstrose 5% mulai 20 tetes per menit sampai maksimal 60 tetes per menit.
-
Kombinasi cara pertama dan ketiga untuk
janin hidup maupun janin mati.
-
Kombinasi cara kedua dan ketiga untuk
janin mati.
Catatan:
dilakukakan histerotomi bila upaya melairkan pervaginam dianggap tidak berhasil
atau atas indikasi ibu, dengan sepengetahuan konsulen.
4) Pengakhiran
kehamilan jika lebih dari 28 minggu
kehamilan
-
Misoprostol 50 mg intravaginal, yang
dapat diulangi 1 kali 6 jam sesudah pemberian pertama.
-
Pemasangan metrolisa 100 cc 12 jam sebelum
induksi untuk pematangan serviks (tidak efektif bila dilakukan pada KPD).
-
Pemberian tetes oksitosin 5 IU dalam
dekstrose 5% mulai 20 tetes per menit sampai maksimal 60 tetes untuk primi dan
multigravida, 40 tetes untuk grande multigravida sebanyak 2 labu.
-
Kombinasi ketiga cara diatas.
Catatan:
dilakukan SC bila upaya melahirkan pervaginam tidak berhasil, atau bila
didapatkan indikasi ibu maupun janin untuk menyelesaikan persalinan.
2. Periksa
ulangan (follow up)
Dilakukan
kunjungan rumah pada hari ke 2, 6, 14, atau 40 hari. Dilakukan pemeriksaan
nifas seperti biasa. Mengkaji ulang tentang keadaan psikologis, keadaan laktasi
(penghentian ASI), dan penggunaan alat kontrasepsi.
5.
PERDARAHAN PERVAGINA
1.
SOLUSIO
PLASENTA
a. Pengertian
Solusio plasenta adalah lepasnya
plasenta dari dinding rahim bagian dalam sebelum proses persalinan, baik
seluruhnya maupun sebagian, dan merupakan komplikasi kehamilan yang serius
namun jarang terjadi. Plasenta berfungsi memberikan nutrisi serta oksigen pada
janin yang dikandung, dan merupakan organ yang tumbuh di dalam rahim selama
masa kehamilan. Solusio
plasenta bisa membahayakan nyawa ibu dan bayi yang dikandung jika tidak segera
ditangani. Hal ini dikarenakan solusio plasenta bisa menyebabkan pendarahan
hebat bagi sang ibu, dan bayi yang dikandung bisa kekurangan asupan nutrisi
serta oksigen.
b.
Gejala
Usia kehamilan enam bulan ke atas,
terutama beberapa pekan sebelum proses persalinan merupakan waktu yang paling
sering mengalami solusio plasenta. Di bawah ini adalah beberapa gejala solusio
plasenta yang bisa terjadi:
·
Nyeri punggung.
·
Kontraksi berlangsung cepat.
·
Pendarahan pada vagina.
·
Rahim terasa sakit.
·
Nyeri perut.
·
Kurang bergeraknya bayi yang berada dalam kandungan
atau tidak seperti biasanya.
Jika
mengalami gejala seperti yang disebutkan di atas, segera temui dokter.
c.
Penyebab
Hingga saat
ini penyebab pasti terjadinya solusio plasenta belum diketahui, namun ada
beberapa hal yang bisa meningkatkan risiko solusio plasenta, yaitu:
·
Wanita yang merokok atau yang menyalahgunakan narkoba.
·
Wanita yang berusia di atas 40 tahun.
·
Wanita yang pernah mengalami solusio plasenta
sebelumnya.
·
Wanita yang pernah melahirkan bayi kembar.
·
Wanita yang memiliki tekanan darah tinggi atau
hipertensi.
·
Wanita yang memiliki gangguan pembekuan darah.
·
Wanita yang pernah mengalami trauma pada perut,
seperti terjatuh atau terkena pukulan.
·
Air ketuban bocor atau pecah terlalu awal.
d.
Diagnosis
Untuk mendiagnosis solusio plasenta, awalnya dokter
akan melakukan pemeriksaan fisik guna memeriksa tekanan rahim, apakah lunak
atau keras. Dan mungkin diperlukan tes darah atau ultrasound untuk
membantu mengetahui penyebab terjadinya pendarahaan vagina. Ultrasound
frekuensi tinggi juga bisa digunakan untuk melihat rahim, namun tidak selalu
bisa untuk melihat adanya solusio plasenta.
e.
Perawatan
Perawatan solusio plasenta yang dilakukan tergantung
pada keadaan bayi yang dikandung dan usia kehamilan. Plasenta yang sudah
terlepas dari dinding rahim tidak bisa ditempelkan kembali.
Anda mungkin
akan dirawat di rumah sakit jika usia kehamilan di bawah 34 minggu, detak
jantung bayi normal dan kondisi tergolong ringan. Namun jika usia kehamilan
sudah di atas 34 minggu dan solusio plasenta membahayakan ibu dan bayi yang
dikandung, maka dokter akan menyarankan untuk segera melakukan proses
persalinan, biasanya dengan operasi caesar. Jika ibu hamil mengalami pendarahan
yang parah, makan transfusi darah akan dilakukan.
f.
Komplikasi
Solusio plasenta dapat menimbulkan komplikasi dan
membahayakan jiwa ibu dan bayi yang dikandung. Ibu hamil yang menderita solusio
plasenta kemungkinan bisa mengalami gangguan pembekuan darah dan syok akibat
kehilangan darah. Selain itu, komplikasi akibat solusio plasenta juga bisa
menyebabkan kondisi gagal ginjal atau gagal organ tubuh lainnya. Pendarahan
juga kemungkinan terjadi setelah proses persalinan. Operasi histerektomi atau
pengangkatan rahim mungkin akan dilakukan jika pendarahan yang terjadi tidak
bisa dikendalikan. Sedangkan komplikasi akibat solusio plasenta pada bayi
yang dikandung dapat menyebabkan kelahiran prematur serta kekurangan asupan
nutrisi dan oksigen. Bahkan komplikasi yang serius dapat menyebabkan bayi
terlahir dalam keadaan meninggal.
2.
PLASENTA PREVIA
a.
Pengertian
Plasenta
atau ari-ari akan terbentuk dalam rahim saat seorang wanita menjadi hamil.
Organ ini berfungsi untuk menyalurkan oksigen dan nutrisi untuk bayi, sekaligus
mengangkat zat-zat buangan dari darah bayi.
Selama
masa kehamilan, rahim seorang wanita akan berkembang dan plasenta yang normal
akan melebar ke arah atas, menjauhi leher rahim atau serviks. Jika tetap berada
di bagian bawah rahim atau di dekat serviks, plasenta dapat menutupi sebagian atau
seluruh jalan lahir sang bayi. Kondisi inilah yang disebut plasenta previa.
b.
Gejala
Plasenta
previa merupakan kondisi yang jarang dialami oleh ibu hamil. Tetapi risiko ini
tetap harus diwaspadai karena dapat membahayakan jiwa ibu dan bayi di kandungan.
Ibu hamil dengan plasenta previa terbukti memiliki risiko lebih tinggi untuk
mengalami pendarahan sebelum kelahiran. Gejala
utama dari kondisi ini adalah pendarahan tanpa disertai rasa sakit, yang
biasanya terjadi pada tiga bulan terakhir masa kehamilan. Tetapi tidak semua
ibu hamil dengan kondisi ini akan mengalami pendarahan. Pendarahan
umumnya terjadi secara tiba-tiba dan volume darah bisa banyak atau sedikit.
Pendarahan dapat berhenti dengan sendirinya, tapi akan kembali muncul dalam
beberapa hari atau beberapa minggu kemudian. Selain itu, sebagian ibu hamil
juga ada yang mengalami kontraksi dan nyeri di punggung atau perut bagian
bawah.
Jika
mengalami pendarahan dalam trimester kedua atau ketiga, sebaiknya Anda segera
menghubungi dokter. Ibu hamil yang mengalami pendarahan hebat dianjurkan untuk
segera ke rumah sakit.
c.
Faktor
Risiko
Penyebab
pasti plasenta previa belum diketahui, tapi ada beberapa faktor yang dapat
meningkatkan risiko ibu hamil mengalaminya. Beberapa faktor risikonya antara
lain:
·
Pernah mengalami plasenta previa pada
kehamilan sebelumnya.
·
Pernah menjalani operasi caesar.
·
Pernah menjalani operasi pada rahim,
misalnya kuret atau pengangkatan miom.
·
Berusia 35 tahun atau lebih.
·
Pernah melahirkan sebelumnya.
·
Pernah menjalani operasi pada rahim.
·
Menggunakan kokain.
d. Diagnosis
Posisi plasenta biasanya akan diketahui melalui pemeriksaan USG pada usia
kehamilan 18-21 minggu. Jika pernah mengalami pendarahan selama kehamilan, Anda
akan dianjurkan untuk menjalani USG transvaginal. Proses ini akan memberikan
pencitraan yang lebih mendetail.
Jika Anda
positif terdiagnosis mengalami plasenta previa, dokter akan menghindari
pemeriksaan fisik rutin melalui vagina selama kehamilan. Ini dilakukan guna
mengurangi risiko pendarahan. Anda juga biasanya akan kembali menjalani proses
USG sebelum melahirkan untuk memeriksa lokasi plasenta serta detak jantung
bayi.
Plasenta
previa dapat dibagi dalam 4 kategori. Pengelompokan ini ditentukan berdasarkan
posisi plasenta dan meliputi:
·
Kategori 1 – plasenta hanya
tertanam di rahim bagian bawah tanpa menutupi lubang serviks.\
·
Kategori 2 – plasenta
mencapai lubang serviks bagian dalam, tapi tidak menutupinya.
·
Kategori 3 – plasenta
menutupi sebagian lubang serviks.
·
Kategori 4 – plasenta
menutupi seluruh lubang serviks termasuk saat lubang serviks terbuka dan
melebar.
Ibu hamil yang mengalami plasenta previa kategori 1 dan 2 biasanya masih
diizinkan untuk melahirkan secara normal. Sedangkan plasenta previa kategori 3
dan 4 akan membutuhkan prosedur caesar.
e.
Penanganan dan Komplikasi
Penanganan untuk plasenta
previa biasanya meliputi istirahat sebanyak-banyaknya, transfusi darah jika
perli, serta operasi caesar. Langkah penanganan yang dipilih tergantung pada
beberapa faktor, yaitu:
·
Apakah terjadi pendarahan atau
tidak.
·
Tingkat keparahan
pendarahan.
·
Kondisi kesehatan sang ibu
dan bayi.
·
Usia kandungan.
·
Posisi plasenta dan bayi.
Ibu hamil yang tidak atau
hanya mengalami sedikit pendarahan biasanya tidak membutuhkan perawatan di
rumah sakit, tapi harus tetap waspada. Dokter umumnya akan menganjurkan
istirahat di rumah. Terkadang bahkan ada ibu hamil yang dianjurkan untuk terus
berbaring dan hanya boleh duduk atau berdiri jika benar-benar diperlukan.
Berhubungan seks juga sebaiknya dihindari karena dapat memicu pendarahan pada
penderita plasenta previa. Begitu juga dengan olahraga. Jika terjadi
pendarahan, ibu hamil dihimbau untuk segera ke rumah sakit sebelum pendarahan
bertambah parah.
Sementara itu, ibu hamil
yang pernah mengalami pendarahan selama masa kehamilan disarankan untuk
menjalani sisa masa kehamilan di rumah sakit dari minggu ke-34. Langkah ini
dianjurkan agar pertolongan darurat, seperti transfusi darah, bisa segera
diberikan jika pendarahan kembali terjadi. Prosedur caesar juga akan dilakukan
begitu kehamilan mencapai batas usia yang cukup, yaitu minggu ke-36. Sebelum
menjalaninya, sang ibu biasanya akan diberi kortikosteroid guna mempercepat
perkembangan paru-paru bayi dalam kandungannya. Bagi ibu hamil dengan pendarahan yang tidak kunjung berhenti, dokter akan
menganjurkan prosedur caesar meski usia kandungan belum cukup.
Jika tidak ditangani, plasenta previa dapat menyebabkan komplikasi serius
dan berakibat fatal bagi ibu dan bayi, misalnya pendarahan hebat pada saat
melahirkan dan bahkan setelahnya.
3.
RUPTUR UTERI
a.
Pengertian
Ruptur
uteri atau robekan uterus merupakan peristiwa yang sangat berbahaya, yang
umumnya terjadi pada persalinan, kadang-kadang juga pada kehamilan tua. Robekan
pada uterus dapat ditemukan untuk sebagian besar pada bagian bawah uterus.
Pada
robekan ini kadang-kadang vagina atas ikut serta pula. Apabila robekan tidak
terjadi pada uterus melainkan pada vagina bagian atas hal itu dinamakan
kolpaporeksis. Apabila pada ruptur uteri peritoneum pada permukaan uterus ikut
robek, hal itu dinamakan ruptur uteri kompleta, jika tidak ruptur uteri
inkompleta. Pinggir ruptur biasanya tidak rata, letaknya pada uterus melintang
atau membujur atau miring dan bisa agak ke kiri atau ke kanan. Ada kemungkinan
pula terdapat robekan dinding kandung kencing.
b.
Klasifikasi
Menurut waktu terjadinya, ruptur uteri dapat
dibedakan:
1.
Ruptur Uteri Gravidarum.
Terjadi waktu sedang hamil, sering berlokasi pada korpus.
2.
Ruptur Uteri Durante Partum.
Terjadi waktu melahirkan anak, lokasinya sering pada SBR. Jenis inilah yang
terbanyak.
Menurut lokasinya, ruptur uteri dapat dibedakan:
1.
Korpus Uteri. Biasanya
terjadi pada rahim yang sudah pernah mengalami operasi, seperti seksio sesarea
klasik (korporal) atau miomektomi.
2.
Segmen Bawah Rahim. Biasanya
terjadi pada partus yang sulit dan lama (tidak maju). SBR tambah lama tambah
regang dan tipis dan akhirnya terjadilah ruptur uteri.
3.
Serviks Uteri. Biasanya
terjadi pada waktu melakukan ekstraksi forsep atau versi dan ekstraksi, sedang
pembukaan belum lengkap.
4.
Kolpoporeksis-Kolporeksis.
Robekan – robekan di antara serviks dan vagina.
Menurut robeknya peritoneum, ruptur uteri dapat
dibedakan:
1.
Ruptur Uteri Kompleta.
Robekan pada dinding uterus berikut peritoneumnya (perimetrium), sehingga
terdapat hubungan langsung antara rongga perut dan rongga uterus dengan bahaya
peritonitis.
2.
Ruptur Uteri Inkompleta.
Robekan otot rahim tetapi peritoneum tidak ikut robek. Perdarahan terjadi
subperitoneal dan bisa meluas sampai ke ligamentum latum.
Menurut etiologinya, ruptur uteri dapat
dibedakan:
1.
Karena dinding rahim yang
lemah dan cacat, misalnya pada bekas SC, miomektomi, perforasi waktu kuretase,
histerorafia, pelepasan plasenta secara manual. Dapat juga pada graviditas pada
kornu yang rudimenter dan graviditas interstisialis, kelainan kongenital dari
uterus seperti hipoplasia uteri dan uterus bikornus, penyakit pada rahim,
misalnya mola destruens, adenomiosis dan lain-lain atau pada gemelli dan
hidramnion dimana dinding rahim tipis dan regang.
2.
Karena peregangan yang luar
biasa dari rahim, misalnya pada panggul
sempit atau kelainan bentuk panggul, janin besar seperti janin penderita
DM, hidrops fetalis, postmaturitas dan grandemultipara. Juga dapat karena
kelainan kongenital dari janin : Hidrosefalus, monstrum, torakofagus,
anensefalus dan shoulder dystocia; kelainan letak janin: letak lintang dan
presentasi rangkap; atau malposisi dari kepala : letak defleksi, letak tulang
ubun-ubun dan putar paksi salah. Selain itu karena adanya tumor pada jalan
lahir; rigid cervix: conglumeratio cervicis, hanging cervix, retrofleksia uteri
gravida dengan sakulasi; grandemultipara dengan perut gantung (pendulum); atau
juga pimpinan partus yang salah.
Ruptur
Uteri Violenta (Traumatika), karena tindakan dan trauma lain seperti:
-
Ekstraksi Forsep
-
Versi dan ekstraksi
-
Embriotomi
-
Versi Braxton Hicks
-
Sindroma tolakan (Pushing
syndrome)
-
Manual plasenta
-
Kuretase
-
Ekspresi Kristeller atau
Crede\
-
Pemberian Pitosin tanpa
indikasi dan pengawasan
-
Trauma tumpul dan tajam dari
luar.
Menurut Gejala Klinis, ruptur uteri dapat
dibedakan:
1.
Ruptur Uteri Iminens
(membakat=mengancam)
2.
Ruptur Uteri sebenarnya.
c. Etiologi
Ruptur uteri dapat terjadi sebagai akibat cedera atau
anomali yang sudah ada sebelumnya, atau dapat menjadi komplikasi dalam
persalinan dengan uterus yang sebelumnya tanpa parut.
Akhir-akhir ini, penyebab ruptur uteri yang paling
sering adalah terpisahnya jaringan parut akibat seksio sesarea sebelumnya dan
peristiwa ini kemungkinan semakin sering terjadi bersamaan dengan timbulnya
kecenderungan untuk memperbolehkan partus percobaan pada persalinan dengan
riwayat seksio sesarea.
Faktor predisposisi lainnya yang sering ditemukan pada
ruptur uteri adalah riwayat operasi atau manipulasi yang mengakibatkan trauma
seperti kuretase atau perforasi. Stimulasi uterus secara berlebihan atau kurang
tepat dengan oksitosin, yaitu suatu penyebab yang sebelumnya lazim ditemukan,
tampak semakin berkurang. Umumnya, uterus yang sebelumnya tidak pernah
mengalami trauma dan persalinan berlangsung spontan, tidak akan terus
berkontraksi dengan kuat sehingga merusak dirinya sendiri.
d.
Diagnosis dan Gejala
Terlebih dahulu dan yang terpenting adalah mengenal
betul gejala dari ruptura uteri mengancam (threatened uterine rupture) sebab
dalam hal ini kita dapat bertindak secepatnya supaya tidak terjadi ruptur uteri
yang sebenarnya.
Gejala Ruptur Uteri Iminens/mengancam :
-
Dalam anamnesa dikatakan telah ditolong/didorong oleh dukun/bidan, partus
sudah lama berlangsung
-
Pasien tampak gelisah, ketakutan, disertai dengan perasaan nyeri diperut
-
Pada setiap datangnya his pasien memegang perutnya dan mengerang kesakitan
bahkan meminta supaya anaknya secepatnya dikeluarkan.
-
Pernafasan dan denyut nadi lebih cepat dari biasa.
-
Ada tanda dehidrasi karena partus yang lama (prolonged labor), yaitu mulut
kering, lidah kering dan haus, badan panas (demam).
-
His lebih lama, lebih kuat dan lebih sering bahkan terus-menerus.
-
Ligamentum rotundum teraba seperti kawat listrik yang tegang, tebal dan
keras terutama sebelah kiri atau keduanya.
-
Pada waktu datang his, korpus uteri teraba keras (hipertonik) sedangkan SBR
teraba tipis dan nyeri kalau ditekan.
-
Diantara korpus dan SBR nampak lingkaran Bandl sebagai lekukan melintang
yang bertambah lama bertambah tinggi, menunjukan SBR yang semakin tipis dan
teregang. Sering lengkaran bandl ini dikelirukan dengan kandung kemih yang
penuh, untuk itu dilakukan kateterisasi kandung kemih. Dapat peregangan dan
tipisnya SBR terjadi di dinding belakang sehingga tidak dapat kita periksa,
misalnya terjadi pada asinklitismus posterior atau letak tulang ubun-ubun
belakang.
-
Perasaan sering mau kencing karena kandung kemih juga tertarik dan teregang
ke atas, terjadi robekan-robekan kecil pada kandung kemih, maka pada
kateterisasi ada hematuri.
-
Pada auskultasi terdengar denyut jantung janin tidak teratur (asfiksia)
-
Pada pemriksaan dalam dapat kita jumpai tanda-tanda dari obstruksi, seperti
oedem porsio, vagina, vulva dan kaput kepala janin yang besar
e. Gejala
Bila ruptur uteri yang mengancam dibiarkan terus, maka
suatu saat akan terjadilah ruptur uteri sebenarnya.
1. Anamnesis dan Inspeksi
-
Pada suatu his yang kuat sekali, pasien merasa kesakitan yang luar biasa,
menjerit seolah-olah perutnya sedang dirobek kemudian jadi gelisah, takut,
pucat, keluar keringat dingin sampai kolaps.
-
Pernafasan jadi dangkal dan cepat, kelihatan haus.
-
Muntah-muntah karena perangsangan peritoneum.
-
Syok, nadi kecil dan cepat, tekanan darah turun bahkan tidak terukur.
-
Keluar perdarahan pervaginam yang biasanya tak begitu banyak, lebih-lebih
kalau bagian terdepan atau kepala sudah jauh turun dan menyumbat jalan lahir.
-
Kadang-kadang ada perasaan nyeri yang menjalar ke tungkai bawah dan dibahu.
-
Kontraksi uterus biasanya hilang.
-
Mula-mula terdapat defans muskulaer kemudian perut menjadi kembung dan
meteoristis (paralisis usus).
2. Palpasi
-
Teraba krepitasi pada kulit perut yang menandakan adanya emfisema subkutan.
-
Bila kepala janin belum turun, akan mudah dilepaskan dari pintu atas
panggul.
-
Bila janin sudah keluar dari kavum uteri, jadi berada di rongga perut, maka
teraba bagian-bagian janin langsung dibawah kulit perut dan disampingnya
kadang-kadang teraba uterus sebagai suatu bola keras sebesar kelapa.
-
Nyeri tekan pada perut, terutama pada tempat yang robek.
3. Auskultasi
Biasanya denyut jantung janin sulit atau tidak terdengar lagi beberapa
menit setelah ruptur, apalagi kalau plasenta juga ikut terlepas dan masuk ke
rongga perut.
4. Pemeriksaan Dalam
-
Kepala janin yang tadinya sudah jauh turun ke bawah, dengan mudah dapat
didorong ke atas dan ini disertai keluarnya darah pervaginam yang agak banyak
-
Kalau rongga rahim sudah kosong dapat diraba robekan pada dinding rahim dan
kalau jari atau tangan kita dapat melalui robekan tadi, maka dapat diraba usus,
omentum dan bagian-bagian janin. Kalau jari tangan kita yang didalam kita
temukan dengan jari luar maka terasa seperti dipisahkan oleh bagian yang tipis
seklai dari dinding perut juga dapat diraba fundus uteri.
5. Kateterisasi
Hematuri yang hebat menandakan adanya robekan pada kandung kemih.
6. Catatan
-
Gejala ruptur uteri inkompleta tidak sehebat kompleta
-
Ruptur uteri yang terjadi oleh karena cacat uterus yang biasanya tidak
didahului oleh ruptur uteri mengancam.
-
Lakukanlah selalu eksplorasi yang teliti dan hati-hati sebagai kerja rutin
setelah mengerjakan suatu operative delivery, misalnya sesudah versi ekstraksi,
ekstraksi vakum atau forsep, embriotomi dan lain-lain.
f. Profilaksis
Banyak kiranya ruptur uteri yang seharusnya tidak
perlu terjadi kalau sekiranya ada pengertian dari para ibu, masyarakat dan
klinisi, karena sebelumnya dapat kita ambil langkah-langkah preventif. Maka,
sangatlah penting arti perawatan antenatal (prenatal).
1. Panggul sempit atau CPD. Anjurkan bersalin di rumah
sakit. Lakukan pemeriksaan yang teliti misalnya kalau kepala belum turun
lakukan periksa dalam dan evaluasi selanjutnya dengan pelvimetri. Bila panggul
sempit (CV 8 cm), lakukan segera seksio sesarea primer saat inpartu.
2. Malposisi Kepala. Coba lakukan reposisi, kalau kiranya
sulit dan tak berhasil, pikirkan untuk melakukan seksio sesarea primer saat
inpartu.
3. Malpresentasi. Letak lintang atau presentasi bahu,
maupun letak bokong, presentasi rangkap.
4. Hidrosefalus
5. Rigid cervix
6. Tetania uteri
7. Tumor jalan lahir
8. Grandemultipara + abdomen pendulum
9. Pada bekas seksio sesarea. Beberapa sarjana masih
berpegang pada diktum : Once a Caesarean always a Caesarean, tetapi pendapat
kita disini adalah Once a Caesarean not necessarily a Caesarean, kecuali pada
panggul yang sempit. Hal ini disebut Repeat Caesarean Section. Pada keadaan
dimana seksio yang lalu dilakukan korporal pasien harus bersalin dirumah sakit
dengan observasi yang ketat dan cermat mengingat besarnya kemungkinan terjadi
ruptur spontan. Kalau perlu lakukan segera repeat c section. Pasien seksio
sesaria dengan insisi SBR dibandingkan dengan korporal menurut statistik
kemungkinan terjadinya ruptur relatif kecil, Namun demikian partus harus
dilakukan di RS dan kalau kepala sudah turun lakukan ekstraksi forsep.
10. Uterus cacat karena miomektomi, kuretase, manual uri,
maka dianjurkan bersalin di RS dengan pengawasan yang teliti.
11. Ruptur uteri karena tindakan obstetrik dapat dicegah
dengan bekerja secara lege artis, jangan melakukan tindakan kristaller yang
berlebihan, bidan dilarang memberikan oksitocin sebelum janin lahir, kepada
dukun diberikan penataran supaya waktu memimpin persalinan jangan
mendorong-dorong, karena dapat menimbulkan ruptura uteri traumatika.
g. Komplikasi
Syok hipovolemik dan sepsis
h. Penanganan
Untuk mencegah timbulnya ruptura uteri pimpinan
persalinan harus dilakukan dengan cermat, khususnya pada persalinan dengan
kemungkinan distosia, dan pada wanita yang pernah mengalami sectio sesarea atau
pembedahan lain pada uterus. Pada distosia harus diamati terjadinya regangan
segmen bawah rahim, bila ditemui tanda-tanda seperti itu, persalinan harus
segera diselesaikan.
Jiwa wanita yang mengalami ruptur uteri paling sering
bergantung pada kecepatan dan efisiensi dalam mengoreksi hipovolemia dan
mengendalikan perdarahan. Perlu ditekankan bahwa syok hipovolemik mungkin tidak
bisa dipulihkan kembali dengan cepat sebelum perdarahan arteri dapat
dikendalikan, karena itu keterlambatan dalam memulai pembedahan tidak akan bisa
diterima.
Bila keadaan umum penderita mulai membaik, selanjutnya
dilakukan laparotomi dengan tindakan jenis operasi:
1)
Histerektomi, baik total maupun subtotal.
2)
Histerorafia, yaitu tepi luka dieksidir lalu dijahit sebaik-baiknya.
3)
Konservatif, hanya dengan tamponade dan pemberian antibiotik yang cukup.
Tindakan aman yang akan dipilih, tergantung dari
beberapa faktor, antara lain:
-
Keadaan umum
-
Jenis ruptur, inkompleta atau kompleta
-
Jenis luka robekan
-
Tempat luka
-
Perdarahan dari luka
-
Umur dan jumlah anak hidup
-
Kemampuan dan keterampilan penolong
-
i.
Prognosis
Harapan hidup bagi janin sangat suram. Angka
mortilitas yang ditemukan dalam berbagai penelitian berkisar dari 50 hingga 70
persen. Tetapi jika janin masih hidup pada saat terjadinya peristiwa tersebut,
satu-satunya harapan untuk mempertahankan jiwa janin adalah dengan persalinan segera,
yang paling sering dilakukan lewat laparotomi.
Jika tidak diambil tindakan, kebanyakan wanita akan
meninggal karena perdarahan atau mungkin pula karena infeksi yang terjadi
kemudian, kendati penyembuhan spontan pernah pula ditemukan pada kasus-kasus
yang luar biasa. Diagnosis cepat, tindakan operasi segera, ketersediaan darah
dalam jumlah yang besar dan terapi antibiotik sudah menghasilkan perbaikan
prognosis yang sangat besar dan terapi antibiotik sudah menghasilkan perbaikan
prognosis yang sangat besar bagi wanita dengan ruptura pada uterus yang hamil.
6. GANGGUAN PEMBEKUAN DARAH
a.
Pengertian
Gangguan pada faktor pembekuan darah
(trombosit) adalah Pendarahan yang terjadi karena adanya kelainan pada proses
pembekuan darah sang ibu, sehingga darah tetap mengalir.
b.
Etiologi
Pada periode
post partum awal, kelainan sistem koagulasi dan platelet biasanya tidak
menyebabkan perdarahan yang banyak, hal ini bergantung pada kontraksi uterus
untuk mencegah perdarahan. Deposit fibrin pada tempat perlekatan plasenta dan
penjendalan darah memiliki peran penting beberapa jam hingga beberapa hari
setelah persalinan. Kelainan pada daerah ini dapat menyebabkan perdarahan post
partun sekunder atau perdarahan eksaserbasi dari sebab lain, terutama trauma.
Abnormalitas
dapat muncul sebelum persalinan atau didapat saat persalinan. Trombositopenia
dapat berhubungan dengan penyakit sebelumnya, seperti ITP atau sindroma HELLP
sekunder, solusio plasenta, DIC atau sepsis. Abnormalitas platelet dapat saja
terjadi, tetapi hal ini jarang. Sebagian besar merupakan penyakit sebelumnya, walaupun
sering tak terdiagnosis.
Abnormalitas
sistem pembekuan yang muncul sebelum persalinan yang berupa hipofibrinogenemia
familial, dapat saja terjadi, tetapi abnormalitas yang didapat biasanya yang
menjadi masalah. Hal ini dapat berupa DIC yang berhubungan dengan solusio
plasenta, sindroma HELLP, IUFD, emboli air ketuban dan sepsis. Kadar fibrinogen
meningkat pada saat hamil, sehingga kadar fibrinogen pada kisaran normal
seperti pada wanita yang tidak hamil harus mendapat perhatian. Selain itu,
koagulopati dilusional dapat terjadi setelah perdarahan post partum masif yang
mendapat resusiatsi cairan kristaloid dan transfusi PRC.
DIC, yaitu
gangguan mekanisme pembekuan darah yang umumnya disebabkan oleh hipo atau
afibrinigenemia atau pembekuan intravascular merata (Disseminated Intravaskular
Coagulation)
DIC juga
dapat berkembang dari syok yang ditunjukkan oleh hipoperfusi jaringan, yang
menyebabkan kerusakan dan pelepasan tromboplastin jaringan. Pada kasus ini
terdapat peningkatan kadar D-dimer dan penurunan fibrinogen yang tajam, serta
pemanjangan waktu trombin (thrombin time).
c. Patofisiologi
Kelainan
koagulasi generalisata ini dianggap sebagai akibat dari lepasnya substansi –
substansi serupa tromboplastin yang berasal dari produk konsepsi ke dalam sirkulasi
darah ibu atau akibat aktivasi factor XII oleh endotoksin. Setelah itu mulailah
serangkaian reaksi berantai yang mengaktifkan mekanisme pembekuan darah,
pembentukan dan pengendapan fibrin dan, sebagai konsekuensinya, aktivasi sistem
fibrinolitik yang normalnya sebagai proteksi. Gangguan patofisiologi yang
kompleks ini menjadi suatu lingkaran setan yang muncul sebagai diathesis
perdarahan klinis dengan berubah – ubahnya hasil rangkaian tes pembekuan darah
sehingga membingungkan.
d. Tanda dan gejala
1. Perdarahan
berlangsung terus
2. Merembes
dari tempat tusukan
(Chapman, 2006)
e. Komplikasi
Komplikasi-komplikasi
obstetric yang diketahui berhubungan dengan DIC (Koagulasi Intravaskuler
Diseminata) :
1.
Sepesi oleh kuman gram negative, terutama yang
mneyertai dengan abortus septic
2.
Syok berat
3.
Pemberian cairan hipertonik ke dalam uterus
(Schward, 2000)
f. Diagnosis
Umum
Didapatkan
pada semua parturient dengan HPP Primer :
·
Data Subyektif : Keluar darah bergumpal dari alat
kemaluan
·
Inspeksi : Adanya pengeluaran darah > 400 cc,
parturient tampak pucat, pada keadaan serius tampak tanda-tanda syok
·
Pada kehilangan darah lebih dari 25%, dijumpai TTV
Tensi : turun
Nadi : lemah dan cepat
RR : meningkat
Suhu : turun
Khusus
DIC
-
Perdarahan dari tempat lain, missal vagina, hidung,
gusi, kulit, dll
-
Darah yang keluar sama sekali tidak ada gumpalan,
walau sudah terkena udara
Klausal PPP
karenan gangguan darah baru dicurigai bila penyebab yang lain dapat
disingkirkan apalagi disertai ada riwayat pernah mengalami hal yang sama pada
persalinan sebelumnya. Akan ada tedensi mudah terjadi perdarahn setiap
dilakukan penjahitan dan perdarahan akan merembes atau timbul hematoma pada
bekas jahitan, suntikan, perdarahan digusi, rongga hidung dan lain-lain.
Pada
pemeriksaan penunjang ditemukan hasilpemeriksaan faal hemostatis yang abnormal.
Waktu perdarahan dan waktu pembekuan memanjang, trombositopenia, terjadi
hipofibriogenemia dan terdeteksi adanya FDP ( fibrin degradation product) serta
perpanjangan
tes protombin dan PTT ( PARTIAL THROMBOPLASTIN TIME) (Sarwono, 2008)
g. Pencegahan
Klasifikasi
kehamilan resiko rendah dan resiko tinggi akan memudahkan penyelenggaraan
pelayanan kesehatan untuk menata strategi pelayanan ibu hamil saat perawatan
antenatal dan melahirkan dengan mengatur petugas kesehatan mana yang sesuai dan
jenjang rumah sakit rujukan. Akan tetapi, pada saat proses persalinan, semua
kehamilan mempunyai resiko untuk terjadinya patologi persalinan, slah satunya
adalah perdarahan pascapersalinan. Antisipasi terhadap hal tersebut dapat
dilakukan sebagai berikut:
1.
Persiapan sebelum hamil untuk memperbaiki keadaan umum
dan mengatasi setiap penyakit kronis, anemia dan lain-lain sehingga pada saat
hamil dan persalinan pasien tersebut ada dalam keadaan optimal.
2.
Mengenal faktor predisposisi PPP seperti multiparitas,
anak beras, hamil kembar, hidroamnion, bekas seksio, ada riwayat PPP sebelumnya
dan kehamilan resiko tinggi lainnya yang resikonya akan muncul saat persalinan
3.
Persalinan harus selesai dalam waktu 24 jam dan
pencegahan partus lamaa
4.
Kehamilan resiko tinggi agar melahirkan di fasilitas
rumah sakit rujukan
5.
Kehamilan resiko rtendah agar melahirkan di tenaga
kesehatan terlatih dan menghindari persalinan dukun
6.
Mengesuai langkah-langkah pertolongan pertama
menghadapi PPP dan mengadakan rujukan sebagaimana mestinya.
(Sarwono, 2008)
h. Pengobatan
Pasien perlu
dirawat bila secara klinis ada gangguan pembekuaan darah atau dari serangkaian
pemeriksaan laboratorium diperlihatkan adanaya kemunduran fungsi pemebekuan
darah secara progresif.
Nilai
normal
|
Kehamilan
|
DIC
|
Hitung trombosit
150.000-400.000/mm3
|
Sama
|
Lebih rendah
|
Waktu protombin yang cepat
75-125%
|
Memendek
|
Memanjang
|
Waktu protomboplastin parsial
30-45%
|
Memendek
|
Memanjang
|
Waktu thrombin
10-15 detik
|
Memendek
|
Memanjang
|
Pengukuran fibrinogen
(atau titer) 200-400 mg%
|
300-600 mg%
|
Menurun
|
Produk-produk pecahan fibrin
|
Negative
|
Dapat diukur
|
Pengukuran faktor V 75-125%
|
Sama
|
Menurun
|
Pengukuran faktor VII
50-200%
|
Mungkin meningkat
|
Menurun
|
Tujuan utama
pengobatan adalah menghilngkan sumber material serupa tromboplastin, tetapi
evalusai produk konsepsi akan mendatangkan resiko perdarahan vaginal atau
bedah. Dengan alasan inilah, proses pembekuaan normal harus dipulihkan lebih
dahulu sebelum melakukan persalina operatif.
1.
Pemberian faktor-faktor pembekuan
2.
Menghambat proses patofisiologi dengan antikoagulasi
heparin samapi faktor-faktor pembekuan pulih kembali
Cara
pengobatan yang akan dipilih tergantung kepada ancaman jiwa pasien segera
akibat perdarahan yang aktif pada saat diagnosis ditegakkan atau akibat
persalinan yang akan segera terjadi.
1.
Bila dicurigai ada perdarahan aktif dari uterus dari
persalinan operatif, harus diberikan pengobtan sebagai terjadi :
a.
Monitor tanda-tanda vital secara kontiyu termasuk
pengukuran tekanan vena sentral dan mempertahankan produksi urin
b.
Berikan oksigen melalui masker
c.
Mengatasi syok dengan segera adalah penting, bila
memungkinkan dengan darah lengkap segar.
d.
Pemberian faktor-faktor pembekuan : pengobatan denga
plasma beku segar lebih disukai daripada dengan preparat depot fibrinogen
(pooled fibrinogen) komersial karena dapat memperkecil resiko penularan
hepatitis, pengantian volume tambahan, serta tersediannya aneka macam
faktor-faktor pembekuaan. Setiap liter plasma beku segar dapat diharapkan mengandung
2-3 g fibrinogen.
Karena
kira-kira diperlukan 2-6 g fibrinogen, bila hal tidak dapat disediakan dengan
perparat tersebut (baik karena tidak tersedia atau karena masalah-masalah
hipervolema) dapat dipakai fibrinogen depot komersial.
Masalah
utama yang berkaitan dengan pengantian fibrinogen dengan menggunakan salah satu
preparat tersebut di atas adlah waktu psruhnya yang singkat kalkau ada banyak
trombhin dan timbunan fibrin intravaskuler lebih lanjut. Dengan alasan inilah,
preparat-preparat tersebut hanya boleh digunakan untuk segera mengendalikan
perdarahan sebelum persalina ndan pertama bila persalinan harus dilaksankan
dengan operasi seksio sesaria.
Dengan
demikian prosedur pengobatan seperti di atas serta melakukan pengosongan
uterus, biasanya akan terjadi perbaikan spontan pembekuan darahnya, sehingga
tidak diperhatikan terapi lebih lanjut.
2.
Bila tidak ada perdarahan uterus dan persalinannya
dapat ditunda (yaitu, sindrom janin mati yang tertinggal dalam uterus tetapi
jelas tidak ada soluiso plasenta), tindakan sebagai berikut dilakukan :
a.
Heparinisasi : 100 IU/kg setiap 4 jam, atau 600
IU/kg/24 jamdenga infuse kontiu
Pemberian
heparin dihentikan setelash terjadi perbaikan faktor-faktor pembekuan kedalam
batas normal, dan hanya dalam keadaan inilah persalina boleh dilaksanakan.
Terapi
fibrinogen jarang dilakukan jika sekiranya diindikasikan pada pasien obstetric
selalu karena DIC dan akan berhenti sendiri setelah pengobtan primer. Kita
harus selalu ingat bahwa keberadaan fibrinolisis merupakan suatu respons
protektifterhadap koagulasi intravaskuler. (Schward, 2000)
i.
Penatalaksanaan
Jika tes
koagulasi darah menunjukkan hasil abnormal dari onset terjadinya perdarahan
post partum, perlu dipertimbangkan penyebab yang mendasari terjadinya perdarahan
post partum, seperti solutio plasenta, sindroma HELLP, fatty liver pada
kehamilan, IUFD, emboli air ketuban dan septikemia. Ambil langkah spesifik
untuk menangani penyebab yang mendasari dan kelainan hemostatik.
Penanganan
DIC identik dengan pasien yang mengalami koagulopati dilusional. Restorasi dan
penanganan volume sirkulasi dan penggantian produk darah bersifat sangat
esensial. Perlu saran dari ahli hematologi pada kasus transfusi masif dan
koagulopati.
Konsentrat
trombosit yang diturunkan dari darah donor digunakan pada pasien dengan
trombositopenia kecuali bila terdapat penghancuran trombosit dengan cepat. Satu
unit trombosit biasanya menaikkan hitung trombosit sebesar 5.000 – 10.000/mm3.
Dosis biasa sebesar kemasan 10 unit diberikan bila gejala-gejala perdarahan
telah jelas atau bila hitung trombosit di bawah 20.000/mm3. transfusi trombosit
diindakasikan bila hitung trombosit 10.000 – 50.000/mm3, jika direncanakan
suatu tindakan operasi, perdarahan aktif atau diperkirakan diperlukan suatu
transfusi yang masif. Transfusi ulang mungkin dibutuhkan karena masa paruh
trombosit hanya 3 – 4 hari.
Plasma segar
yang dibekukan adalah sumber faktor-faktor pembekuan V, VII, IX, X dan
fibrinogen yang paling baik. Pemberian plasma segar tidak diperlukan adanya kesesuaian
donor, tetapi antibodi dalam plasma dapat bereaksi dengan sel-sel penerima.
Bila ditemukan koagulopati, dan belum terdapat pemeriksaan laboratorium, plasma
segar yang dibekukan harus dipakai secara empiris.
Kriopresipitat,
suatu sumber faktor-faktor pembekuan VIII, XII dan fibrinogen, dipakai dalam
penanganan hemofilia A, hipofibrinogenemia dan penyakit von Willebrand.
Kuantitas faktor-faktor ini tidak dapat diprediksi untuk terjadinya suatu
pembekuan, serta bervariasi menurut keadaan klinis.
DIC
-
Uterotonika dosis adekuat
-
Tambahan fibrinogen langsung
-
Analisa factor bekuan darah
DAFTAR PUSTAKA
Prawirohardjo, Sarwono. 2009. Ilmu Kebidanan. Jakarta: PT.Bina
Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
Varney, Hellen,dkk. 2008. Buku Ajar Asuha Kebidanan, Volume 2.
. Jakarta: EGC
Saifuddin, Abdul Bari. 2006. Buku Panduan Praktis Pelayanan
Kesehatan Maternal dan Neonatal . Jakarta: YBP-SP
Sulistyawati,Ari.2011. Asuhan
Kebidanan Pada Masa Kehamilan.Jakarta : Selemba Medika
Chandranita Manuaba, Ida Ayu, dkk. 2009. Buku Ajar Patologi
Obstetri . Jakarta. EGC